Thursday, April 13, 2017

Makalah Pendidikan Kewarganegaraan (Problematika Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (Pemilu))



KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat dan karunia-Nya serta izin-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu. Makalah ini disusun dengan judul Problematika Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan kewarganegaraan.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena masih dalam tahap pembelajaran. Oleh sebab itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak dalam menyusun makalah-makalah berikutnya dan semoga makalah ini dapat berguna bagi setiap pembacanya.
Akhir kata penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kendari, 10 Oktober 2013

                                                                                                          Penyusun

 BAB I
PENDAHULUAN

Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai sebuah proses seleksi terhadap lahirnya pemimpin dalam rangka perwujudan demokrasi diharapkan menjadi representasi dari rakyat, karena pemilu merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan masyarakat, yang kemudian dirumuskan dalam berbagai bentuk kebijaksanaan (policy).
Dengan perkataan lain, pemilu adalah sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang digariskan oleh Undang-Undang Dasar. Kekuasaan yang lahir melalui pemilihan umum adalah kekuasaan yang lahir dari bawah menurut kehendak rakyat dan dipergunakan sesuai dengan keinginan rakyat.
Pemilihan umum mengimplikasikan terselenggaranya mekanisme pemerintahan secara tertib, teratur dan damai serta lahirnya masyarakat yang dapat menghormati opini orang lain. Disamping itu lebih lanjut akan lahir suatu masyarakat yang mempunyai tingkat kritisme yang tinggi, dalam arti bersifat selektif atau biasa memilih yang terbaik menurut keyakinannya.
Pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dapat dilepaskan dari pemilihan umum karena pemilihan umum merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip dasar kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara berhak ikut aktif dalam proses politik.

A.      Latar belakang
Suatu pemerintahan disebut pemerintahan yang demokratis jika pemerintahan tersebut menempatkan kewenangan tertinggi berada di tangan rakyat, kekuasaan pemerintah harus dibatasi, dan hak-hak individu harus dilindungi. Namun demikian, dalam praktiknya masih banyak kelemahan dan ketidaksesuaian dengan prinsip-prinsip di Negara-negara yang mengaku adalah negara demokrasi. Penerapan prinsip-prinsip demokrasi di masing-masing negara bersifat kondisional, artinya harus disesuaikan dengan situasi negara dan kondisi masyarakat yang bersangkutan.
Banyaknya kasus pelanggaran yang terjadi pada saat Pemilihan Umum (PEMILU) menunjukan bahwa pelaksanaan demokrasi di indonesia masih belum optimal,kasus-kasus penyelewengan yang berhubungan dengan suap-menyuap,anarkisme dan kekerasan yang terjadi pada saat pilkada aceh sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

B.     Tujuan
Untuk mengetahui apa saja fenomena pelaksanaan demokrasi di Indonesia dan efektifitas hukum dalam pelaksanaan pilkadanya.

C.     Rumusan Masalah
1.  Untuk mengetahui pelaksanan demokrasi diindonesia.
2. Apakah faktor sosiologis dalam pelaksanaan Pilkada yang masih jauh dari harapan dan terjadi banyak penyimpangan?

D.  Manfaat
                   Agar mahasiswa mengetahui fenomena pelaksanaan demokrasi di Indonesia dan efektifitas hukum dalam pelaksanaan pilkadanya.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Definisi demokrasi menurut Cuomo (1996:59), sebagai suatu “policy” di mana semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat, mempunyai hak yang sama di depan hukum, dan kebebasan untuk menjalankan agama yang dipeluknya. Demokrasi berasal dari kata dua kata “demos” yang berarti rakyat dan “kratos/cratein” yang berarti pemerintahan. Indonesia menganut sistem demokrasi berdasarkan pancasila yang berdasarkan pada kekeluargaan dan gotongroyong yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, mengandung unsur-unsur kesadaran religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan.
Dalam Batang Tubuh UUD 1945, prinsip-prinsip yang terkandung dalam sistem pemerintahan demokrasi pancasila adalah sebagai berikut:
1.    Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum.
Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machsstaat). Hal ini mengandung arti bahwa baik pemerintah maupun lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan tindakannya bagi rakyat harus ada landasan hukumnya. Persamaan kedudukan dalam hukum bagi semua warga negara harus tercermin di dalamnya
2. Indonesia menganut sistem konstitusional.
Pemerintah berdasarkan sistem konstitusional (hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang mutlak tidak terbatas). Sistem konstitusional ini lebih menegaskan bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dikendalikan atau dibatasi oleh ketentuan konstitusi, di samping oleh ketentuan-ketentuan hokum lainnya yang merupakan pokok konstitusional, seperti TAP MPR dan Undang-undang.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi.
Seperti telah disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 pada halaman terdahulu, bahwa (kekuasaan negara tertinggi) ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Dengan demikian, MPR adalah lembaga negara tertinggi sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi MPR mempunyai tugas pokok, yaitu: menetapkan UUD, menetapkan GBHN, memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden.
4. Presiden adalah penyelenggaraan pemerintah yang tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Di bawah MPR, presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi. Presiden selain diangkat oleh majelis juga harus tunduk dan bertanggung jawab kepada majelis. Presiden adalah mandataris MPR yang wajib menjalankan putusan-putusan MPR.
5. Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi DPR mengawasi pelaksanaan mandat (kekuasaan pemerintah) yang dipegang oleh presiden dan DPR harus saling bekerja sama dalam pembentukan undang-undang termasuk APBN. Untuk mengesahkan undang-undang, presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Hak DPR di bidang legislative ialah hak inisiatif, hak amandemen, dan hak budget. Hak DPR di bidang pengawasan meliputi: hak tanya/bertanya kepada pemerintah, hak interpelasi, yaitu meminta penjelasan atau keterangan kepada pemerintah, hak Mosi (percaya/tidak percaya) kepada pemerintah, hak Angket, yaitu hak untuk menyelidiki sesuatu hal, dan hak Petisi, yaitu hak mengajukan usul/saran kepada pemerintah.
Paradigma fakta sosial bersifat eksternal, umum (general), dan memaksa (coercion). Paradigma fakta sosial memiliki kajian struktur sosial dan pranata sosial. Struktur sosial adalah jaringan hubungan sosial dimana interaksi terjadi dan terorganisir serta melalui mana posisi sosial individu dan sub-kelompok dibedakan. Sedangkan pranata sosial adalah norma atau pola nilai yang mndukung kelompok. Sistem politik merupakan organisasi melalui masyarakat, merumuskan dan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama. Untuk melaksanakan kegiatankegiatannya,
Sistem politik mempunyai lembaga-lembaga atau struktur-struktur seperti parlemen, birokrasi, badan peradilan, partai-partai politik yang semuanya menjalankan fungsi-fungsinya. Konsep sistem dalam hubungan ini untuk memberikan pemahaman bagaimana politik dipengaruhi oleh lingkungannya (masyarakat) dan bagaimana politik mempengaruhi masyarakat.Struktur yang ada dalam sistem politik yaitu kelompok-kelompok kepentingan, partai-partai politik, lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif (badan peradilan). Menurut
(Rahman, H.I.A) partai politik memiliki fungsi-fungsi yang harus dijalankan yaitu :
1). Sebagai media sosialisasi politik yang membentuk nilai-nilai politik yang menunjukkan bagaimana seharusnya masing-masing anggota masyarakat berpartisipasi dalam sistem politiknya. Sosialisasi politik merupakan proses-proses pembentukan sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku.
2).   Sebagai artikulasi kepentingan yaitu berkaitan erat dengan masalah kepentingan-kepentingan, aspirasiaspirasi, kehendak yang terdapat dalam masyarakat. Untuk dapat memenuhi kepentingan tersebut, maka diperlukan suatu tindakan berupa yang harus diartikulasikan ( diungkapkan ) kepada badan-badan politik atau pemerintah yang berwenang untuk membuat keputusan. Kepentingan-kepentingan masyarakat tersebut diartikulasikan atau dikemukakan oleh berbagai macam lembaga, badan atau kelompok dengan berbagai macam cara.
3).   Sebagai agregasi kepentingan yaitu berfungsi untuk mengubah atau mengkonversikan tuntutan-tuntutan sampai menjadi alternatif-alternatif kebijakan umum. Jadi dengan melalui tahapan-tahapan yang tertentu di dalam sistem politik kepentingan-kepentingan masyarakat yang telah diartikulasikan ditampung dijadikan alternatif-alternatif atau tuntutan tersebut dirumuskan ke dalam sebutan “agregasi kepentingan”.
Fakta sosial mempengaruhi tindakan-tindakan manusia. Tindakan individu
merupakan hasil proses pendefinisian realitas sosial, serta bagaimana orang mendefinisikan situasi. Masalah-masalah realita sosial yang ada dapat mempengaruhi
seseorang untuk bertindak. Fakta dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang membuat
pernyataan benar atau salah. Pemerintah yang menjadi kepercayaan rakyat selama ini,
yaitu sebagai amanat rakyat, aspirasi yang berada pada pihak rakyat, dinilai tidak terwujud secara faktual. Kepercayaan yang dibangun oleh pemerintah sendiri, legitimasi yang berusaha digalang dari rakyat berupa janji-janji politik, menjadi suatu
kesalahan ketika tidak ditemukan bukti yang mampu mendukungnya sebagai kebenaran. Pemerintah yang mempunyai otoritas dalam pengaturan urusan publik dinilai tidak mampu mewujudkan apa yang sudah mereka tawarkan kepada rakyat sebagai mekanisme penggalangan dukungan rakyat. Selain itu partai politik yang memiliki fungsi Realita yang ada, berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat pada pemilihan umum. Realita tersebut seperti masih banyak masyarakat
Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan dan juga banyaknya pengangguran
yang dapat mengakibatkan terjadinya tindak kriminalitas sehingga terciptanya rasa
tidak aman di kalangan masyarakat ( Rohman, 2002:63-64)
(Jeffry M. Paige) membagi partisipasi politik menjadi 4 yaitu:
1.  Partisipasi politik aktif, apabila seseorang memiliki kesadaran poltik dan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi.
2.  Partisipasi politik apatis, apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah yang rendah.
3. Partisipasi politik militan-radikal, apabila seseorang memiliki kesadaran politik tinggi akan tetapi kepercayaan kepada pemerintah rendah.
4. Partisipasi politik pasif, apabila seseoran memiliki kesadaran politik rendah akan tetapi kesadaran kepada pemerintah tinggi.


BAB III
PEMBAHASAN

I.       Fenomena pelaksanaan demokrasi pilkada
Mulai sejak tahun 2005 dengan bergulirnya waktu di era Reformasi hampir seluruh daerah di Nusantara telah melaksanakan pemilihan pimpinan daerah masing-masing dengan suasana demokratis sebagaimana yang diamanatkan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945: Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis, dan Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum: Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daearah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari hasil pesta demokrasi yang menghasilkan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati serta Walikota/Wakil /Wakil Walikota ternyata derap langkahnya dalam membangun daerah masing-masing masih sering menampakkan ketidaksesuaian janji yang disampaikan saat kampanye, bahkan sudah banyak Kepala Daerah yang tersandung kasus hukum karena tindakan pelaggaran hukum yang dilakukan. Di samping itu dalam pesta demokrasi dalam pelaksaan pilkada sering  terjadi kasus sengketa mengenai perolehan hasil suara yang melibatkan para pendukung masing-masing calon, yang berujung pada pertikaian. Bahkan juga banyak dari Kepala Daerah yang terjerat kasus hukum.
Menyikapi hal demikian, akhir-akhir ini muncul dari berbagai tokoh masyarakat, para pejabat pemerintah dan para tokoh politik melontarkan pemikiran pemilihan Gubernur tidak perlu dipilih langsung oleh rakyat tetapi cukup dipilih oleh DPR, Pilkada secara serentak, dan Pilkada secara bertahap. 
Fenomena di atas mengindikasikan bahwa tampilnya seorang Kepala Daerah apakah Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota yang telah memenuhi berbagai persyaratan sesuai aturan hukum yang berlaku, serta membutuhkan pengorbanan besar dari segi materiel dan non-materiel, ternyata  belum memberikan hasil sebagaimana yang diamanatkan reformasi.
Dari sisi pelaksanaan Pilkada juga ada indikasi mayoritas pelaksanaan pilkada menimbulkan sengketa yang berujung sengketa pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana informasi yang disampaikan oleh Sekretariat Mahkamah Konstitusi, bahwa selama tahun 2010 ini telah dilaksanakan  sebanyak 244 pilkada. Dari pelaksanaan pilkada tersebut memunculkan sengketa pilkada yang masuk ke Mahkamah Konstitusi sebanyak 230 perkara, dengan rincian 215 perkara sudah diputuskan, 6 dalam pemeriksaan dan 9 menunnggu putusan. Dari proses perkara pilkada tersebut 23 perkara dikabulkan, 145 ditolak, dan 43 tidak dapat diterima. Dari seluruh pelaksanaan pilkada hanya 58 pilkada (25,55%) yang tidak ada sengketa di Mahkamah konstitusi.

II.    Efektivitas hukum dalam pelaksanaan pilkada
Seseorang yang akan mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah harus memenuhi persyaratan sebagainana yang diatur dalam UU. Nomor 32 Tahun 2004 3tentang Pemerintahan Daerah. Sebagaimana yang termuat dalam Pasal 58 telah mengatur persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang secara rinci terdiri dari 16 poin.  Apabila dilihat dari syarat-syarat dalam Pasal 58 tersebut ternyata sudah menunjukkan begitu luas cakupannya meliputi segi loyalitas berbangsa dan bernegara, pendidikan, kekayaan dst. Sementara itu, dalam Pasal 59 (5) mengatur persyaratan yang harus dipenuhi oleh partai politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan pasangan wajib menyerahkan 6 (enam) macam pernyataan yang dibuat oleh calon Kepala Daerah..
Seyangnya dalam surat pernyataan yang dibuat oleh calon Kepala Daerah yang diserahkan kepada partai politik pengusung pada saat mendaftar perlu dibuat surat pernyataan bahwa calon Kepala Daerah tidak menjanjikan dan/atau memberikan atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Walaupun hal ini sudah secara tegas diatur dalam Pasal 82.
Hal demikian dianggap penting dengan mendasarkan pemikiran dari Chambliss dan Seidman, bahwa suatu peraturan/hukum dapat berjalan efektif tidak hanya dilihat dari segi peraturan/hukum itu sendiri, namun masih ada faktor lain yang berpengaruh yaitu aparat penegaknya maupun masyarakat, dan faktor-faktor sosial dan personal.4 Dengan dibuatnya pernyataan oleh pasangan calon tersebut diharapkan sebagai upaya preventif sejak awal bagi pasangan calon dan bagi partai politik pengusung tidak akan melakukan politik uang.
Terkait dengan faktor sosiologis dalam pelaksanaan Pilkada yang masih jauh dari harapan dan terjadi banyak penyimpangan ini akan dinalisis dari aspek :

     A.    Proliferasi Partai Politik.

Tidak dapat dipungkiri munculnya partai politik bagaikan jamur di musim hujan, akan menjadikan masyarakat terkotak-kotak dalam menentukan pilihannya yang pada ujung-ujungnya akan terjadi tolak tarik bagi kepentingan politik. Banyaknya partai politik di Indonesia yang mendaftarkan diri di awal reformasi mencapai jumlah sekitar 300 parpol dapat dibilang sebagai pemenang ‘Guinness Book of Record’ sebagai negara yang memiliki parpol paling banyak di dunia.5 Hal yang demikian juga mengindikasikan masyarakat kita terkotak-kotak dalam sejumlah partai politik tersebut.
Pertumbuhan parpol yang luar biasa banyaknya setidaknya mengindikasikan:
Pertama, proliferasi parpol-parpol mencerminkan perkembangan politik Indonesia masih tetap didominasi euphoria kebebasan daripada pertimbangan dan rasionalitas terhadap realitas politik seperti dalam proses-proses politik yang berlangsung. Hal yang demikian dapat memunculkan masalah dan komplikasi baru yang kontra-produktif, jika tidak merugikan bagi aktualisasi demokrasi Indonesia. Parpol kecil/gurem tidak melihat realitas politik yang cukup pahit bagi mereka untuk kemudian melakukan langkah-langkah yang lebih realistis dan viable secara politik. Kalaupun ada langkah yang mereka lakukan, maka itu hanyalah dalam bentuk aliansi dan koalisi yang sangat longgar dan kerenanya, sangat rentan terhadap konflik di antara para pemimpin parpol yang terlibat dalam persekutuan semacam ini.
Kedua, proliferasi parpol jelas hanya akan meningkatkan fragmentasi politik dan sosial, tidak hanya di kalangan elit politik, tetapi juga di kalangan masyarakat secara keseluruhan. Parpol-parpol besar saja masih menyisakan konflik dan fragmentasi sosial-politik baik di kalangan kepemimpinan maupun di antara massa pendukung mereka. Apabila hal ini sampai pada tingkat massa, maka mungkin akan muncul fragmentasi yang teraktualisasi konflik terbuka yang dapat berubah menjadi kekerasan dan anarki, bahkan dapat dikhawatirkan akan meningkat bersamaan dengan peningkatan suhu politik. Apabila parpol memperlihatkan perangai yang mementingkan diri sendiri dan egoistis, maka akan melahirkan pertanyaan sangat serius mengenai kemampuan political society sebagai lokomotif untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih demokratis.
Indikator tersebut di atas dapat diduga akan menampilkan proses pemilihan Kepala Daerah dan diusung oleh parpol-parpol yang memenuhi persyaratan, akan menampilkan langgam proses pemilihan yang nampak di permukaan berjalan secara demokratis, namun kemungkinan akan terjadi tolak-tarik kepentingan parpol yang secara realitas memang jauh lebih banyak dari parpol yang mengusung calon Kepala Daerah.. Hal yang demikian berakibat masyarakat akan terkotak-kotak mengikuti irama dari pimpinan parpol mereka. Dengan demikian mungkin tidak akan ada parpol pengusung pilkada yang memenangkan Kepala Daerah dengan mayoritas mutlak, dan tidak ada alternatif kecuali mengadakan koalisi dengan partai politik yang lain. Bagaimanapun juga, koalisi akan terwujud dengan baik kalau memenuhi dua syarat: pertama, partai yang berkoalisi memiliki kedekatan ideologis; kedua, partai yang berkoalisi memiliki kepentingan yang sama yang mendesak.
 Namun, karena sistem multi partai yang diterapkan di masyarakat Indonesia yang sangat pluralistik dan terpisah dalam kutub-kutub yang berjauhan yang hampir tidak mungkin dikompromikan, dan sangat sulit dicapai karena partai-partai mewakili kepentingan yang sempit, seperti kedaerahan, keagamaan, dan bahkan klik-klik politik.

     B.     Politik Uang atau Politik Dagang Sapi

Dalam masyarakat yang terkota-kotak dengan banyakya partai politik, kemungkinan dan hampir pasti calon pasangan atau melalui parpol pengusung dan tim kampanyenya akan berusaha keras untuk dapat mempengaruhi calon pemilih dengan suatu janji atau iming-iming tertentu. Dalam kondisi masyarakat yang masih dalam proses demokrasi dan persoalan ekonomi yang masih menghimpit kehidupan, cara mempengaruhi pemilih melalui pemberian uang adalah suatu hal yang sulit dihindari, karena dalam menentukan pilihan bukan berdasar ‘hati nurani’, tetapi lebih didasarkan pada nilai untung rugi dan lebih lagi untuk dapat menopang kebutuhan kehidupan. Ada seorang pencari batu di sebuah sungai dapat jadi perenungan.: wong ngangkat watu ing kali bae entuk upah, apa maneh ngangkat Gubernur (orang mengangkat batu di sungai saja mendapat upah, apalagi kalau mengangkat Gubernur).7 Tidak dapat kita pungkiri, praktik politik uang/politik dagang sapi ini masih sulit untuk diberantas/diberhentikan, bahkan pada tingkat pemilihan kepala desa sekalipun tidak lepas dari cara yang demikian. Walaupun perbuatan yang demikian dengan tegas dilarang sebagaimana yang termuat dalam Pasal 82 UU. Nomor 32 Tahu 2004.
Apabila politik uang/politik dagang sapi masih saja terus terjadi, maka dapat kita bayangkan nanti saatnya duduk di kursi singgasana Kepala Daerah.
C.    Intimidasi   
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu.
D.    Pendahuluan start kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.
E.     Kampanye negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih sangat kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut.
      F.     Sifat Aji Mumpung
Dari proses pelaksanaan Pilkada yang telah menyita waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar, namun masih juga belum mendapatkan Kepala Daerah yang ideal dan dapat menyejahterakan masyarakat, bahkan terkesan bersifat ’aji mumpung’. Hal yang demikian dapat terjadi dengan tampil sebagai Kepala Daerah dalam waktu masa jabatan terbatas selama lima tahun , sementara biaya yang dikeluarkan dalam proses pilkada cukup tinggi yang disinyalir berkisar antara 10 milyar untuk Bupati/Walikota dan 25 milyar untuk Gubernur, lalu muncul pertanyaan kapan uang saya dapat kembali. 
Peringatan terhadap perilaku dengan mendasarkan sifat ‘aji mumpung’ ternyata sesuai dengan pemikiran yang pernah dinyatakan oleh Lord Acton, bahwa kekuasaan itu cenderung korup/disalah gunakan, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup/disalah gunakan secara absolut: Power tends to corrupt, and power absolute tends to corrupt absolutely.
Sementara itu Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-‘Alaq (Q.S.96) ayat 6-7: kallaa innal insaana layathghaa, anra aahustaghnaa, artinya: ketahuilah sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.9
Dari ayat tersebut mengandung makna, apabila manusia itu merasa dirinya mempunyai kekuasaan/menduduki jabatan tertentu serta serba kecukupan, cukup dukungan massa, cukup kekuatan ekonomi, dan berbagai kecukupan yang lain, maka cenderung bertindak melampaui batas.
  
III.   Solusi dari permasalahan tersebut
Dalam melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus dihadapi. Tetapi bagaimana kita dapat meminimalkan kendala kendala itu. Untuk itu diperlukan peranserta masyarakat karena ini tidak hanya tanggungjawab pemerintah saja. Untuk menanggulangi permasalah yang timbul karena pemilu antara lain :
1. Seluruh pihak yang ada baik dari daerah sampai pusat, bersama sama menjaga ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pilkada ini. Tokoh tokoh masyarakat yang merupakan panutan dapat menjadi souri tauladan bagi masyarakatnya. Dengan ini maka dapat menghindari munculnya konflik.
2. Semua warga saling menghargai pendapat. Dalam berdemokrasi wajar jika muncul perbedaan pendapat. Hal ini diharapkan tidak menimbulkan konflik. Dengan kesadaran menghargai pendapat orang lain, maka pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan lancar.
3. Sosialisasi kepada warga ditingkatkan. Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan masyarakat dapat memperoleh informasi yang akurat. Sehingga menghindari kemungkinan fitnah terhadap calon yang lain.
4. Memilih dengan hati nurani. Dalam memilih calon kita harus memilih dengan hati nurani sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Sehingga prinsip prinsip dari pemilu dapat terlaksana dengan baik.



BAB IV
PENUTUP

   A.    Kesimpulan
1.    Pelaksanaan Pemilukada secara langsung selama 5 tahun masih mengindikasikan pada tataran bentuk belum pada tataran hasil yang ideal.
2.    Ada indikasi ketidak efektivitas hukum terkait dengan pesta demokrasi  pelaksanaan pemilukada karena adanya pengaruh faktor sosiologis yang ditengarai dengan adanya proliferasi partai politik, politik uang/politik dagang sapi dan aji mumpung.
   B.     Saran
1.    Perlu diadakan persyaratan bagi calon Kepala Daerah agar tidak terkesan bahwa hanya orang yang mampu (berduit) yang dapat lolos dalam pencalonan.
2.    Penyadaran masyarakat untuk memilih berdasar hati nurani.   

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, H. Rozali. 2005. Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Agustino. 2009. Pilkada dan Dinamika Politik Lokal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Jeffry M. Paige. 1982. Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: PT. Gramedia.
Cuomo, Mario M. 1996. Tentang Demokrasi, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.
Rahman, H.I. A. 2007. Sistem Politik Indonesia, Jakarta: Graha Ilmu.

0 comments:

Post a Comment