KATA PENGANTAR
Puji dan syukur
penyusun ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat dan
karunia-Nya serta izin-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Makalah ini disusun dengan judul Problematika Pemilihan Kepala Daerah
Secara Langsung untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan
kewarganegaraan.
Penyusun menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena masih dalam tahap
pembelajaran. Oleh sebab itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak dalam menyusun makalah-makalah berikutnya dan
semoga makalah ini dapat berguna bagi setiap pembacanya.
Akhir
kata penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.
Kendari,
10 Oktober 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Pemilihan
Umum (Pemilu) sebagai sebuah proses seleksi terhadap lahirnya pemimpin dalam
rangka perwujudan demokrasi diharapkan menjadi representasi dari rakyat, karena
pemilu merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan
masyarakat, yang kemudian dirumuskan dalam berbagai bentuk kebijaksanaan (policy).
Dengan
perkataan lain, pemilu adalah sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan
negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang digariskan
oleh Undang-Undang Dasar. Kekuasaan yang lahir melalui pemilihan umum adalah
kekuasaan yang lahir dari bawah menurut kehendak rakyat dan dipergunakan sesuai
dengan keinginan rakyat.
Pemilihan
umum mengimplikasikan terselenggaranya mekanisme pemerintahan secara tertib,
teratur dan damai serta lahirnya masyarakat yang dapat menghormati opini orang
lain. Disamping itu lebih lanjut akan lahir suatu masyarakat yang mempunyai
tingkat kritisme yang tinggi, dalam arti bersifat selektif atau biasa memilih
yang terbaik menurut keyakinannya.
Pelaksanaan kedaulatan
rakyat tidak dapat dilepaskan dari pemilihan umum karena pemilihan umum
merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi)
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip dasar kehidupan kenegaraan
yang demokratis adalah setiap warga negara berhak ikut aktif dalam proses
politik.
A.
Latar
belakang
Suatu pemerintahan disebut pemerintahan yang demokratis jika
pemerintahan tersebut menempatkan kewenangan tertinggi berada di tangan rakyat,
kekuasaan pemerintah harus dibatasi, dan hak-hak individu harus dilindungi.
Namun demikian, dalam praktiknya masih banyak kelemahan dan ketidaksesuaian
dengan prinsip-prinsip di Negara-negara yang mengaku adalah negara demokrasi.
Penerapan prinsip-prinsip demokrasi di masing-masing negara bersifat
kondisional, artinya harus disesuaikan dengan situasi negara dan kondisi
masyarakat yang bersangkutan.
Banyaknya kasus pelanggaran yang terjadi pada saat Pemilihan
Umum (PEMILU) menunjukan bahwa pelaksanaan demokrasi di indonesia masih belum
optimal,kasus-kasus penyelewengan yang berhubungan dengan suap-menyuap,anarkisme
dan kekerasan yang terjadi pada saat pilkada aceh sangat bertentangan dengan
prinsip-prinsip demokrasi.
B.
Tujuan
Untuk
mengetahui apa saja fenomena pelaksanaan demokrasi di Indonesia dan efektifitas
hukum dalam pelaksanaan pilkadanya.
C. Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui pelaksanan
demokrasi diindonesia.
2.
Apakah faktor sosiologis dalam
pelaksanaan Pilkada yang masih jauh dari harapan dan terjadi banyak
penyimpangan?
D.
Manfaat
Agar mahasiswa mengetahui fenomena
pelaksanaan demokrasi di Indonesia dan efektifitas hukum dalam pelaksanaan
pilkadanya.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
Definisi demokrasi menurut Cuomo (1996:59), sebagai
suatu “policy” di mana semua warga
menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat, mempunyai hak yang
sama di depan hukum, dan kebebasan untuk menjalankan agama yang dipeluknya.
Demokrasi berasal dari kata dua kata “demos” yang berarti rakyat dan “kratos/cratein”
yang berarti pemerintahan. Indonesia menganut sistem demokrasi berdasarkan
pancasila yang berdasarkan pada kekeluargaan dan gotongroyong yang ditujukan
kepada kesejahteraan rakyat, mengandung unsur-unsur kesadaran religius,
berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian
Indonesia dan berkesinambungan.
Dalam Batang Tubuh UUD 1945, prinsip-prinsip yang
terkandung dalam sistem pemerintahan demokrasi pancasila adalah sebagai
berikut:
1. Indonesia
ialah negara yang berdasarkan hukum.
Negara Indonesia berdasarkan hukum
(Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machsstaat). Hal ini
mengandung arti bahwa baik pemerintah maupun lembaga-lembaga negara lainnya
dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan tindakannya
bagi rakyat harus ada landasan hukumnya. Persamaan kedudukan dalam hukum bagi
semua warga negara harus tercermin di dalamnya
2.
Indonesia menganut sistem konstitusional.
Pemerintah
berdasarkan sistem konstitusional (hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan yang mutlak tidak terbatas). Sistem konstitusional ini lebih menegaskan
bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dikendalikan atau dibatasi oleh
ketentuan konstitusi, di samping oleh ketentuan-ketentuan hokum lainnya yang
merupakan pokok konstitusional, seperti TAP MPR dan Undang-undang.
3.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kekuasaan negara yang
tertinggi.
Seperti
telah disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 pada halaman terdahulu, bahwa
(kekuasaan negara tertinggi) ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh
MPR. Dengan demikian, MPR adalah lembaga negara tertinggi sebagai penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi MPR
mempunyai tugas pokok, yaitu: menetapkan UUD, menetapkan GBHN, memilih dan
mengangkat presiden dan wakil presiden.
4.
Presiden adalah penyelenggaraan pemerintah yang tertinggi di bawah Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Di
bawah MPR, presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi. Presiden
selain diangkat oleh majelis juga harus tunduk dan bertanggung jawab kepada
majelis. Presiden adalah mandataris MPR yang wajib menjalankan putusan-putusan MPR.
5.
Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Presiden
tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi DPR mengawasi pelaksanaan mandat
(kekuasaan pemerintah) yang dipegang oleh presiden dan DPR harus saling bekerja
sama dalam pembentukan undang-undang termasuk APBN. Untuk mengesahkan
undang-undang, presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Hak DPR di bidang
legislative ialah hak inisiatif, hak amandemen, dan hak budget. Hak DPR di
bidang pengawasan meliputi: hak tanya/bertanya kepada pemerintah, hak interpelasi,
yaitu meminta penjelasan atau keterangan kepada pemerintah, hak Mosi (percaya/tidak
percaya) kepada pemerintah, hak Angket, yaitu hak untuk menyelidiki sesuatu
hal, dan hak Petisi, yaitu hak mengajukan usul/saran kepada pemerintah.
Paradigma fakta sosial bersifat eksternal, umum
(general), dan memaksa (coercion). Paradigma fakta sosial memiliki kajian
struktur sosial dan pranata sosial. Struktur sosial adalah jaringan hubungan
sosial dimana interaksi terjadi dan terorganisir serta melalui mana posisi
sosial individu dan sub-kelompok dibedakan. Sedangkan pranata sosial adalah
norma atau pola nilai yang mndukung kelompok. Sistem politik merupakan
organisasi melalui masyarakat, merumuskan dan berusaha mencapai tujuan-tujuan
bersama. Untuk melaksanakan kegiatankegiatannya,
Sistem politik mempunyai lembaga-lembaga atau
struktur-struktur seperti parlemen, birokrasi, badan peradilan, partai-partai
politik yang semuanya menjalankan fungsi-fungsinya. Konsep sistem dalam
hubungan ini untuk memberikan pemahaman bagaimana politik dipengaruhi oleh
lingkungannya (masyarakat) dan bagaimana politik mempengaruhi
masyarakat.Struktur yang ada dalam sistem politik yaitu kelompok-kelompok
kepentingan, partai-partai politik, lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan
yudikatif (badan peradilan). Menurut
(Rahman, H.I.A) partai politik memiliki fungsi-fungsi
yang harus dijalankan yaitu :
1).
Sebagai media sosialisasi politik yang membentuk nilai-nilai politik yang menunjukkan
bagaimana seharusnya masing-masing anggota masyarakat berpartisipasi dalam
sistem politiknya. Sosialisasi politik merupakan proses-proses pembentukan
sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku.
2).
Sebagai artikulasi kepentingan yaitu
berkaitan erat dengan masalah kepentingan-kepentingan, aspirasiaspirasi, kehendak
yang terdapat dalam masyarakat. Untuk dapat memenuhi kepentingan tersebut, maka
diperlukan suatu tindakan berupa yang harus diartikulasikan ( diungkapkan )
kepada badan-badan politik atau pemerintah yang berwenang untuk membuat
keputusan. Kepentingan-kepentingan masyarakat tersebut diartikulasikan atau
dikemukakan oleh berbagai macam lembaga, badan atau kelompok dengan berbagai
macam cara.
3). Sebagai agregasi kepentingan yaitu berfungsi
untuk mengubah atau mengkonversikan tuntutan-tuntutan sampai menjadi alternatif-alternatif
kebijakan umum. Jadi dengan melalui tahapan-tahapan yang tertentu di dalam
sistem politik kepentingan-kepentingan masyarakat yang telah diartikulasikan
ditampung dijadikan alternatif-alternatif atau tuntutan tersebut dirumuskan ke
dalam sebutan “agregasi kepentingan”.
Fakta sosial mempengaruhi tindakan-tindakan manusia.
Tindakan individu
merupakan
hasil proses pendefinisian realitas sosial, serta bagaimana orang mendefinisikan
situasi. Masalah-masalah realita sosial yang ada dapat mempengaruhi
seseorang
untuk bertindak. Fakta dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang membuat
pernyataan
benar atau salah. Pemerintah yang menjadi kepercayaan rakyat selama ini,
yaitu
sebagai amanat rakyat, aspirasi yang berada pada pihak rakyat, dinilai tidak terwujud
secara faktual. Kepercayaan yang dibangun oleh pemerintah sendiri, legitimasi
yang berusaha digalang dari rakyat berupa janji-janji politik, menjadi suatu
kesalahan
ketika tidak ditemukan bukti yang mampu mendukungnya sebagai kebenaran.
Pemerintah yang mempunyai otoritas dalam pengaturan urusan publik dinilai tidak
mampu mewujudkan apa yang sudah mereka tawarkan kepada rakyat sebagai mekanisme
penggalangan dukungan rakyat. Selain itu partai politik yang memiliki fungsi
Realita yang ada, berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat pada
pemilihan umum. Realita tersebut seperti masih banyak masyarakat
Indonesia
yang berada dibawah garis kemiskinan dan juga banyaknya pengangguran
yang
dapat mengakibatkan terjadinya tindak kriminalitas sehingga terciptanya rasa
tidak
aman di kalangan masyarakat ( Rohman, 2002:63-64)
(Jeffry M. Paige) membagi partisipasi politik
menjadi 4 yaitu:
1. Partisipasi politik aktif, apabila seseorang
memiliki kesadaran poltik dan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi.
2. Partisipasi politik apatis, apabila seseorang
memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah yang rendah.
3.
Partisipasi politik militan-radikal, apabila seseorang memiliki kesadaran politik
tinggi akan tetapi kepercayaan kepada pemerintah rendah.
4.
Partisipasi politik pasif, apabila seseoran memiliki kesadaran politik rendah akan
tetapi kesadaran kepada pemerintah tinggi.
BAB
III
PEMBAHASAN
I.
Fenomena
pelaksanaan demokrasi pilkada
Mulai
sejak tahun 2005 dengan bergulirnya waktu di era Reformasi hampir seluruh
daerah di Nusantara telah melaksanakan pemilihan pimpinan daerah masing-masing
dengan suasana demokratis sebagaimana yang diamanatkan Pasal 18 ayat (4) UUD
NRI Tahun 1945: Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis,
dan Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum: Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu
untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daearah secara langsung dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari hasil pesta demokrasi yang
menghasilkan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati serta
Walikota/Wakil /Wakil Walikota ternyata derap langkahnya dalam membangun daerah
masing-masing masih sering menampakkan ketidaksesuaian janji yang disampaikan
saat kampanye, bahkan sudah banyak Kepala Daerah yang tersandung kasus hukum
karena tindakan pelaggaran hukum yang dilakukan. Di samping itu dalam pesta
demokrasi dalam pelaksaan pilkada sering terjadi kasus sengketa mengenai
perolehan hasil suara yang melibatkan para pendukung masing-masing calon, yang
berujung pada pertikaian. Bahkan juga banyak dari Kepala Daerah yang terjerat kasus
hukum.
Menyikapi
hal demikian, akhir-akhir ini muncul dari berbagai tokoh masyarakat, para
pejabat pemerintah dan para tokoh politik melontarkan pemikiran pemilihan
Gubernur tidak perlu dipilih langsung oleh rakyat tetapi cukup dipilih oleh
DPR, Pilkada secara serentak, dan Pilkada secara bertahap.
Fenomena
di atas mengindikasikan bahwa tampilnya seorang Kepala Daerah apakah
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota yang
telah memenuhi berbagai persyaratan sesuai aturan hukum yang berlaku, serta
membutuhkan pengorbanan besar dari segi materiel dan non-materiel,
ternyata belum memberikan hasil sebagaimana yang diamanatkan reformasi.
Dari sisi
pelaksanaan Pilkada juga ada indikasi mayoritas pelaksanaan pilkada menimbulkan
sengketa yang berujung sengketa pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana
informasi yang disampaikan oleh Sekretariat Mahkamah Konstitusi, bahwa selama
tahun 2010 ini telah dilaksanakan sebanyak 244 pilkada. Dari pelaksanaan
pilkada tersebut memunculkan sengketa pilkada yang masuk ke Mahkamah Konstitusi
sebanyak 230 perkara, dengan rincian 215 perkara sudah diputuskan, 6 dalam
pemeriksaan dan 9 menunnggu putusan. Dari proses perkara pilkada tersebut 23
perkara dikabulkan, 145 ditolak, dan 43 tidak dapat diterima. Dari seluruh
pelaksanaan pilkada hanya 58 pilkada (25,55%) yang tidak ada sengketa di
Mahkamah konstitusi.
II.
Efektivitas
hukum dalam pelaksanaan pilkada
Seseorang
yang akan mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah harus memenuhi persyaratan
sebagainana yang diatur dalam UU. Nomor 32 Tahun 2004 3tentang
Pemerintahan Daerah. Sebagaimana yang termuat dalam Pasal 58 telah mengatur
persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah, yang secara rinci terdiri dari 16 poin. Apabila dilihat dari
syarat-syarat dalam Pasal 58 tersebut ternyata sudah menunjukkan begitu luas
cakupannya meliputi segi loyalitas berbangsa dan bernegara, pendidikan, kekayaan
dst. Sementara itu, dalam Pasal 59 (5) mengatur persyaratan yang harus dipenuhi
oleh partai politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan
pasangan wajib menyerahkan 6 (enam) macam pernyataan yang dibuat oleh calon
Kepala Daerah..
Seyangnya
dalam surat pernyataan yang dibuat oleh calon Kepala Daerah yang diserahkan
kepada partai politik pengusung pada saat mendaftar perlu dibuat surat
pernyataan bahwa calon Kepala Daerah tidak menjanjikan dan/atau memberikan atau
materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Walaupun hal ini sudah secara tegas
diatur dalam Pasal 82.
Hal
demikian dianggap penting dengan mendasarkan pemikiran dari Chambliss dan
Seidman, bahwa suatu peraturan/hukum dapat berjalan efektif tidak hanya dilihat
dari segi peraturan/hukum itu sendiri, namun masih ada faktor lain yang
berpengaruh yaitu aparat penegaknya maupun masyarakat, dan faktor-faktor sosial
dan personal.4
Dengan dibuatnya pernyataan oleh pasangan calon tersebut diharapkan sebagai
upaya preventif sejak awal bagi pasangan calon dan bagi partai politik
pengusung tidak akan melakukan politik uang.
Terkait
dengan faktor sosiologis dalam pelaksanaan Pilkada yang masih jauh dari harapan
dan terjadi banyak penyimpangan ini akan dinalisis dari aspek :
A. Proliferasi Partai Politik.
Tidak dapat dipungkiri munculnya
partai politik bagaikan jamur di musim hujan, akan menjadikan masyarakat
terkotak-kotak dalam menentukan pilihannya yang pada ujung-ujungnya akan
terjadi tolak tarik bagi kepentingan politik. Banyaknya partai politik di
Indonesia yang mendaftarkan diri di awal reformasi mencapai jumlah sekitar 300
parpol dapat dibilang sebagai pemenang ‘Guinness Book of Record’ sebagai
negara yang memiliki parpol paling banyak di dunia.5
Hal yang demikian juga mengindikasikan masyarakat kita terkotak-kotak dalam
sejumlah partai politik tersebut.
Pertumbuhan parpol yang luar biasa
banyaknya setidaknya mengindikasikan:
Pertama, proliferasi parpol-parpol
mencerminkan perkembangan politik Indonesia masih tetap didominasi euphoria
kebebasan daripada pertimbangan dan rasionalitas terhadap realitas politik
seperti dalam proses-proses politik yang berlangsung. Hal yang demikian dapat
memunculkan masalah dan komplikasi baru yang kontra-produktif, jika tidak
merugikan bagi aktualisasi demokrasi Indonesia. Parpol kecil/gurem tidak
melihat realitas politik yang cukup pahit bagi mereka untuk kemudian melakukan
langkah-langkah yang lebih realistis dan viable secara politik. Kalaupun
ada langkah yang mereka lakukan, maka itu hanyalah dalam bentuk aliansi dan koalisi
yang sangat longgar dan kerenanya, sangat rentan terhadap konflik di antara
para pemimpin parpol yang terlibat dalam persekutuan semacam ini.
Kedua, proliferasi parpol jelas
hanya akan meningkatkan fragmentasi politik dan sosial, tidak hanya di kalangan
elit politik, tetapi juga di kalangan masyarakat secara keseluruhan.
Parpol-parpol besar saja masih menyisakan konflik dan fragmentasi
sosial-politik baik di kalangan kepemimpinan maupun di antara massa pendukung
mereka. Apabila hal ini sampai pada tingkat massa, maka mungkin akan muncul
fragmentasi yang teraktualisasi konflik terbuka yang dapat berubah menjadi
kekerasan dan anarki, bahkan dapat dikhawatirkan akan meningkat bersamaan dengan
peningkatan suhu politik. Apabila parpol memperlihatkan perangai yang
mementingkan diri sendiri dan egoistis, maka akan melahirkan pertanyaan sangat
serius mengenai kemampuan political society sebagai lokomotif untuk
membangun masa depan Indonesia yang lebih demokratis.
Indikator tersebut di atas dapat
diduga akan menampilkan proses pemilihan Kepala Daerah dan diusung oleh
parpol-parpol yang memenuhi persyaratan, akan menampilkan langgam proses
pemilihan yang nampak di permukaan berjalan secara demokratis, namun
kemungkinan akan terjadi tolak-tarik kepentingan parpol yang secara realitas
memang jauh lebih banyak dari parpol yang mengusung calon Kepala Daerah.. Hal
yang demikian berakibat masyarakat akan terkotak-kotak mengikuti irama dari
pimpinan parpol mereka. Dengan demikian mungkin tidak akan ada parpol pengusung
pilkada yang memenangkan Kepala Daerah dengan mayoritas mutlak, dan tidak ada
alternatif kecuali mengadakan koalisi dengan partai politik yang lain.
Bagaimanapun juga, koalisi akan terwujud dengan baik kalau memenuhi dua syarat:
pertama, partai yang berkoalisi memiliki kedekatan ideologis; kedua,
partai yang berkoalisi memiliki kepentingan yang sama yang mendesak.
Namun, karena sistem multi partai yang
diterapkan di masyarakat Indonesia yang sangat pluralistik dan terpisah dalam
kutub-kutub yang berjauhan yang hampir tidak mungkin dikompromikan, dan sangat
sulit dicapai karena partai-partai mewakili kepentingan yang sempit, seperti
kedaerahan, keagamaan, dan bahkan klik-klik politik.
B.
Politik
Uang atau Politik Dagang Sapi
Dalam masyarakat yang terkota-kotak
dengan banyakya partai politik, kemungkinan dan hampir pasti calon pasangan
atau melalui parpol pengusung dan tim kampanyenya akan berusaha keras untuk
dapat mempengaruhi calon pemilih dengan suatu janji atau iming-iming tertentu.
Dalam kondisi masyarakat yang masih dalam proses demokrasi dan persoalan
ekonomi yang masih menghimpit kehidupan, cara mempengaruhi pemilih melalui
pemberian uang adalah suatu hal yang sulit dihindari, karena dalam menentukan
pilihan bukan berdasar ‘hati nurani’, tetapi lebih didasarkan pada nilai untung
rugi dan lebih lagi untuk dapat menopang kebutuhan kehidupan. Ada seorang
pencari batu di sebuah sungai dapat jadi perenungan.: wong ngangkat watu ing
kali bae entuk upah, apa maneh ngangkat Gubernur (orang mengangkat batu di
sungai saja mendapat upah, apalagi kalau mengangkat Gubernur).7
Tidak dapat kita pungkiri, praktik politik uang/politik dagang sapi ini masih
sulit untuk diberantas/diberhentikan, bahkan pada tingkat pemilihan kepala desa
sekalipun tidak lepas dari cara yang demikian. Walaupun perbuatan yang demikian
dengan tegas dilarang sebagaimana yang termuat dalam Pasal 82 UU. Nomor 32 Tahu
2004.
Apabila politik uang/politik dagang
sapi masih saja terus terjadi, maka dapat kita bayangkan nanti saatnya duduk di
kursi singgasana Kepala Daerah.
C. Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu
di daerah penulis oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga
agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng sekali dari aturan
pelaksanaan pemilu.
D.
Pendahuluan
start kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat
jelas sekali aturan aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara
dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk
bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat itu melakukan kunjungan
keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati
pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu
media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyam
paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal jadwal pelaksanaan kampanye
belum dimulai.
E.
Kampanye
negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal
calon kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih
sangat kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan
orang yang disekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat
mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut.
F.
Sifat
Aji Mumpung
Dari proses pelaksanaan Pilkada yang
telah menyita waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar, namun masih juga belum
mendapatkan Kepala Daerah yang ideal dan dapat menyejahterakan masyarakat,
bahkan terkesan bersifat ’aji mumpung’. Hal yang demikian dapat terjadi dengan
tampil sebagai Kepala Daerah dalam waktu masa jabatan terbatas selama lima
tahun , sementara biaya yang dikeluarkan dalam proses pilkada cukup tinggi yang
disinyalir berkisar antara 10 milyar untuk Bupati/Walikota dan 25 milyar untuk
Gubernur, lalu muncul pertanyaan kapan uang saya dapat kembali.
Peringatan terhadap perilaku dengan
mendasarkan sifat ‘aji mumpung’ ternyata sesuai dengan pemikiran yang pernah
dinyatakan oleh Lord Acton, bahwa kekuasaan itu cenderung korup/disalah
gunakan, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup/disalah gunakan secara
absolut: Power tends to corrupt, and power absolute tends to corrupt
absolutely.
Sementara itu Allah berfirman dalam
Al-Qur’an Surat Al-‘Alaq (Q.S.96) ayat 6-7: kallaa innal insaana layathghaa,
anra aahustaghnaa, artinya: ketahuilah sesungguhnya manusia benar-benar
melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.9
Dari ayat tersebut mengandung makna,
apabila manusia itu merasa dirinya mempunyai kekuasaan/menduduki jabatan
tertentu serta serba kecukupan, cukup dukungan massa, cukup kekuatan ekonomi,
dan berbagai kecukupan yang lain, maka cenderung bertindak melampaui batas.
III.
Solusi
dari permasalahan tersebut
Dalam melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus
dihadapi. Tetapi bagaimana kita dapat meminimalkan kendala kendala itu. Untuk
itu diperlukan peranserta masyarakat karena ini tidak hanya tanggungjawab pemerintah
saja. Untuk menanggulangi permasalah yang timbul karena pemilu antara lain :
1. Seluruh pihak yang ada baik dari daerah sampai pusat,
bersama sama menjaga ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pilkada ini. Tokoh
tokoh masyarakat yang merupakan panutan dapat menjadi souri tauladan bagi
masyarakatnya. Dengan ini maka dapat menghindari munculnya konflik.
2. Semua warga saling menghargai pendapat. Dalam berdemokrasi
wajar jika muncul perbedaan pendapat. Hal ini diharapkan tidak menimbulkan
konflik. Dengan kesadaran menghargai pendapat orang lain, maka pelaksanaan
pilkada dapat berjalan dengan lancar.
3. Sosialisasi kepada warga ditingkatkan. Dengan adanya
sosialisasi ini diharapkan masyarakat dapat memperoleh informasi yang akurat.
Sehingga menghindari kemungkinan fitnah terhadap calon yang lain.
4. Memilih dengan hati nurani. Dalam memilih calon kita harus
memilih dengan hati nurani sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Sehingga
prinsip prinsip dari pemilu dapat terlaksana dengan baik.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Pelaksanaan Pemilukada secara
langsung selama 5 tahun masih mengindikasikan pada tataran bentuk belum pada
tataran hasil yang ideal.
2. Ada indikasi ketidak efektivitas
hukum terkait dengan pesta demokrasi pelaksanaan pemilukada karena adanya
pengaruh faktor sosiologis yang ditengarai dengan adanya proliferasi partai
politik, politik uang/politik dagang sapi dan aji mumpung.
B.
Saran
1. Perlu diadakan persyaratan bagi
calon Kepala Daerah agar tidak terkesan bahwa hanya orang yang mampu (berduit)
yang dapat lolos dalam pencalonan.
2. Penyadaran masyarakat untuk memilih
berdasar hati nurani.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, H.
Rozali. 2005. Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Agustino. 2009. Pilkada
dan Dinamika Politik Lokal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Jeffry M. Paige.
1982. Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: PT. Gramedia.
Cuomo, Mario M.
1996. Tentang Demokrasi, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.
Rahman, H.I. A. 2007.
Sistem Politik Indonesia, Jakarta: Graha Ilmu.
0 comments:
Post a Comment